Berita

Indonesia dan Australia Sepakat Memperkuat Penerapan Pajak Kripto

Indonesia dan Australia Sepakat Memperkuat Penerapan Pajak Kripto

Pada Senin 22 April 2024 kemarin, Indonesia melalui DJP dan Kantor Perpajakan Australia alias ATO sepakat menandatangani Nota Kesepahaman dalam pengaturan informasi kripto demi meningkatkan penerimaan negara.

Peresmian kerja sama yang dilakukan di Kantor Kedubes Australia, Jakarta ini menjadikan sebuah kolaborasi lintas batas yang mengharuskan kedua pihak memiliki kemampuan mendeteksi aset digital milik para wajib pajak.

Menurut Direktur Perpajakan Internasional, DJP Mekar Satria Utama, kolaborasi yang dilakukan ini mencerminkan pentingnya inovasi serta kolaborasi pada operasionalisasi pajak sehingga bisa memastikan kepatuhan setiap masyarakat.

Pihaknya menambahkan dengan adanya akses berbagi data dan informasi mengenai kripto secara lebih baik, maka pertumbuhan ekonomi bisa meningkat dan memberikan pendapatan untuk publik di beberapa sektor.

Mulai dari infrastruktur, pendidikan, hingga layanan kesehatan. Adapun nanti berbagi informasi ini mampu meningkatkan deteksi aset yang memiliki kewajiban pajak di sejumlah negara.

Terlepas dari itu, banyak yang beranggapan bahwa kesepakatan yang dijalankan tersebut sebagai satu efek positif diterimanya Indonesia untuk jadi anggota Financial Action Task Force atau FATF. 

Menurut Kementrian Keuangan pada November kemarin, kehadiran anggota FATF membuat Indonesia memiliki kesempatan bekerja sama antar negara terutama dalam mempersempit celah untuk menghindari pajak maupun peningkatan kerangka kerja anti pencucian uang.

Sementara itu, ATO bersama DJP sebenarnya sudah melakukan kolaborasi di berbagai prioritas seperti modernisasi, digitalisasi, dan masih banyak lagi.

Setidaknya kerja sama yang dilakukannya sudah berjalan selama hampir dua dekade dengan saat ini fokus penguatan sistem pajak di kedua negara tersebut.

Aturan Terkait Pajak Kripto di Indonesia dan Australia

Pada dasarnya, kedua negara tersebut telah menerapkan pajak di aset kripto seperti Indonesia yang mengenakan PPh pada penjual aset kripto terdaftar pajak sebesar 0,1% dan PPN sebesar 0,11% berdasarkan nilai transaksi.

Sementara untuk exchange tidak terdaftar akan dikenakan pajak lebih tinggi yaitu PPh 0,2% dan PPN mencapai 0,22%.

Sedangkan di Australia, pajak kripto dekanakan mengacu pada sistem pajak keuntungan modal berdasarkan pengurangan basis biaya harga penjualan kripto. Adapun ketentuannya membuat pemegang kripto selama lebih dari 12 bulan, bisa mendapatkan diskon pajak sebesar 50%.

Rencana Evaluasi Pajak Kripto oleh Bappebti

Pajak kripto di Indonesia juga menjadi perhatian khususnya bagi lembaga seperti Bappebti. Apalagi keinginan tersebut terjadi di tengah rencana Bappebti yang akan melakukan evaluasi pada penetapan pajak kripto. Hal ini dibutuhkan demi bisa menyesuaikan tingginya minat masyarakat untuk mulai investasi aset digital. 

Menurut Tirta Karma Senjaya selaku Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti, pihaknya berencana mengurangi besaran tarif pajak pada investor kripto. Terlepas dari hal tersebut, hingga akhir Januari 2024 lalu sendiri DJP berhasil mengumpulkan pajak kripto senilai Rp39,13 miliar. 

Adapun rinciannya terdiri dari Rp18,2 miliar yang berasal dari pajak PPh pasal 22 dan Rp20 miliar dari PPn atas transaksi kripto.

Untuk mendapatkan berita menarik lainnya seputar aset kripto, blockchain, NFT, dan Metaverse, kunjungi halaman blog Ajaib Kripto! Ajaib Kripto menghadirkan layanan investasi crypto online yang aman dan terpercaya. Yuk, download aplikasi Ajaib Kripto dengan klik button di bawah ini!

Referensi:

  • https://coinvestasi.com/berita/indonesia-dan-australia-kerja-sama-soal-pajak-kripto, diakses terakhir 25 April 2024
  • https://id.beincrypto.com/djp-indonesia-australia-penerapan-pajak-kripto/, diakses terakhir 25 April 2024

Artikel Terkait